SANGKOLAN

rozekki, mpd, rozekki SANGKOLAN. In: SANGKOLAN. BASABASI.

[img] Text
SANGKOLAN.pdf

Download (1MB)

Abstract

Pengantar Penyair Sangkolan: Semacam Alat Penyimpan Ingatan “Saya tidak menemukan Madura dalam puisi-puisimu.” Demikian komentar seorang kawan atas buku kumpulan puisi pertama saya, Tiga Cuaca tanpa Musim (2016). Komentar itu ia lontarkan dengan nada dan raut wajah samar, antara memberi masukan atau melakukan penjajakan. Saya balik bertanya, “Madura seperti apa yang kamu maksud?” Selama ini, pandangan terhadap Madura sering kali terbatas hanya pada dua ikon kekerasan: celurit dan karapan sapi. Kalau kedua ikon itu tidak muncul, seakan-akan tidak ada Madura di sana. Kawan saya menjawab dengan mantap, “Madura dalam segenap unsur kebudayaannya, meliputi tujuh unsur kebudayaan universal: peralatan kehidupan, mata pencaharian, kesenian, bahasa, organisasi sosial, sistem religi, dan sistem pengetahuan.” Dialog tersebut memantik diskusi yang cukup panjang dalam benak saya. Benarkah puisi-puisi yang saya tulis tidak bernapaskan Madura? Sejauh yang saya pahami, puisi-puisi dalam Tiga Cuaca tanpa Musim mengangkat persoalan sederhana yang dekat bahkan intim dengan keseharian saya. Ada kenangan masa kecil di sana, gejolak masa muda, dan beban hidup orang dewasa. Benarkah puisi-puisi yang saya tulis tidak ber-napaskan Madura? Sejauh yang saya ingat, puisi-puisi dalam Tiga Cuaca tanpa Musim mencatat kejadian yang saya lihat, kabar yang saya dengar, saksi bagi peristiwa yang saya alami. Mungkinkah saya menghirup udara Madura tapi mengembuskan napas Jawa atau daerah lainnya? Atau, jangan-jangan, akar persoalannya bukan puisi-puisi saya, tapi saya sendirilah yang tidak Madura? Harus saya akui, memang ada jarak antara saya dengan beberapa unsur kebudayaan Madura yang kawan saya sebutkan. Saya lebih sering mengenakan celana daripada sarung, bahkan untuk salat. Saya lebih sering menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Madura, bahkan untuk berbicara dengan keluarga. Pen-didikan formal saya lebih tinggi daripada pendidikan agama. Saya tidak pernah menyaksikan karapan sapi, kecuali dari keeping VCD atau layar YouTobe. Namun, apakah saya harus menghentikan kemajuan untuk menjadi Madura? Saya berada di persimpangan jalan. Gamang. Namun, kegamangan itu justru melahirkan sebuah apologi, bahwa setiap persimpangan akan mengantarkan saya pada lebih banyak pilihan, lebih banyak kemung-kinan, lebih banyak jalan. Hal yang tidak mungkin terjadi bila saya melintas satu arah, melawati jalan lurus. Simpangan-simpangan pemikiran itulah yang kemudiaan melahirkan sejumlah puisi yang saya rangkum menjadi buku kumpulan puisi di bawah judul Sangkolan ini. Secara harfiah sangkolan bermakna warisan. Makna leksikal itu sebagian besar masih saya pertahankan, meski benda-benda sangkolan tidak lagi maujud sebagai benda. Ia telah menjadi representasi dari peristiwa, ingatan yang terus menggelayut, kenangan yang selalu melekat. Barangkali, memang demikianlah kodrat asali dari sangkolan. Ia bukan sekadar harta peninggalan, tetapi telah menjadi semacam alat penyimpan ingatan. Puisi-puisi dalam buku kumpulan pusi Sangkolan ini dibagi menjadi dua bagian, masing-masing berada di bawah dua anak judul, Mata Celurit dan Mata Sabit. Puisi-puisi dalam Mata Celurit mengungkap peristiwa atau ingatan yang melekat pada benda-benda yang lazimnya diwariskan pada anak laki-laki (kacong). Puisi-puisi pada Mata Sabit pun demikian, mengungkap peristiwa atau ingatan yang melekat pada benda-benda yang lazimnya di-sangkol-kan pada anak perempuan (jhebbhing). Meski menggunakan bahasa Madura sebagai judul, dan kata celurit sebagai anak judul, puisi-puisi dalam kumpulan ini tidak hendak menggambarkan Madura seperti yang kawan saya kehendaki. Sekali lagi, benda-benda sangkolan dalam puisi-puisi itu hanya menjadi representasi dari peristiwa, semacam alat penyimpan ingatan. Bukan hanya ingatan Madura, tapi bisa juga Jawa, Sunda, Sumatra, dan daerah-daerah lain di seluruh nusantara. Sebagai semacam alat penyimpan ingatan, di daerah mana pun, rasanya sangkolan akan sama saja. Ia harus bertarung melawan ingatan budaya global, dan terancam menjadi semacam hard disk external. Bangkalan, Juli 2018

Item Type: Book Section
Subjects: P Language and Literature > PN Literature (General)
Depositing User: M.Pd rozekki rozekki, mpd
Date Deposited: 31 Mar 2023 02:55
Last Modified: 31 Mar 2023 02:55
URI: http://repo.stkippgri-bkl.ac.id/id/eprint/2628

Actions (login required)

View Item View Item